Oleh Haidar Bagir
Kufr adalah Penolakan terhadap Kebenaran
Kata “kafir’’ dalam Bahasa Arab (lihat al-munjid,misalnya) berasal dari kata ka-fa-ra yang berarti ‘menutupi’. Di dalam al-Qur’an, petani juga disebut kuffar
(orang-orang ‘’kafir’’) karena mereka menggali tanah, menanam bebijian,
lalu menutupnya kembali dengan tanah (QS al-Hadid [57]: 20). Kata ini
pula yang kemudian diadopsi dalam Bahasa inggris menjadi kata to cover.
Kekafiran,
dengan demikian, adalah pengingkaran dan penolakan atas kebenaran yang
sesungguhnya memang telah dipahami, diterima, dan diyakini oleh
seseorang sebagai sebuah kebenaran. Orang kafir adalah orang yang karena
berbagai alasan (vasted interest/kepentingan diri), menyangkal
atau bersikap tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang
diyakininya, jika seseorang tidak percaya pada kebenaran tertentu, dalam
hal ini kebenaran Islam, maka apa yang ia tutupi? Apa yang ia sangkal?
Jika ini yang jadi ukuran, maka non muslim yang tak percaya akan
kebenaran Islam karena tak tahu atau tidak yakin akan kebenaran agama
ini bukanlah kafir. Di bawah ini uraiannya.
Di dalam
al-Qur’an, kekafiran identik dengan tindakan penyangkalan secara sadar,
tanpa pengaruh tekanan dari luar. Iblis dan Fir’aun, misalnya, disebut
kafir karena adanya penolakan dan penyangkalan terhadap kebenaran yang
telah diyakini oleh keduanya (abaa wastakbara)
Ini didukung
juga oleh kenyataan bahwa al-Qur’an menggambarkan betapa kaum kafir
quraisy jika ditanya siapakah pencipta semesta, niscaya mereka akan
menjawab, ‘’Allah”. Artinya, penyematan atribut kafir kepada mereka
bukan karena meraka tak yakin atas ketuhanan Allah.
‘’Dan sungguh jika kamu bertanya kepada meraka :’’Siapakah yang menciptakan langit dan bumi,’’ niscaya mereka menjawab: ‘’Allah’’. (QS al-Zumar [39]: 38 ). Demikian pula keyakinan mereka terhadap kerasulan Muhammad SAW.
‘’Dan
setelah datang kepada meraka kitab (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang
ada pada mereka, padahal biasanya mereka biasa (memohon) – kedatangan
nabi untuk mendapatkan – kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah
datang kepada mereka apa yang telah mereka pahami, lalu mereka ingkar
kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang yang ingkar itu’’ (QS al-Baqarah [2]: 89).
Perhatikan
bahwa orang-orang ini tidak kafir, bahkan mengharap kedatangan Nabi
untuk melawaan orang-orang kafir. Mereka menjadi kafir justru ketika
telah datang nabi yang sebelumnya mereka harap-harapkan (karena sebab
yang akan diuraikan di bawah). Masih ada ayat-ayat lain yang menegaskan
bahwa kekafiran datang setelah datangnya pengetahuan/keyakinan. Inilah salah satunya:
“Bagaimana
Allah menunjukkan kepada suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman,
serta mereka telah mengakui bahwa rasul itu (Muhammad benar-bernar
rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka. Allah
tak akan memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.’’ (QS. Ali Imran [3]: 86).
Fakta bahwa orang-orang kafir sesungguhnya sudah percaya pada kenabian Muhammad saw. dikuatkan antara lain oleh sebuah riwayat yang dilaporkan oleh Ibn Hisyam (w. 213 H) dalam Sirah-nya di bawah subbab Alladziina istama’uu ilaa Qiraa’ah al-Nabi saw. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa Abu Sufyan, Abu Jahal, Akhnaf ibn Syuraiq, ketiga-tiganya secara bersamaan –dan tanpa sepengetahuan satu sama lain- menyelinap dan mengendap-ngendap di sekitar rumah Nabi Muhammad saw. demi menyimak bacaan al-Qur’an oleh beliau. Mereka terkesima, dan dilubuk hati terdalam mereka tak dapat menyangkal kebenaran firman yang dibacakan oleh Muhammad itu. Kejadian ini terulang hingga beberapa kali. Hingga ketiganya pun sepakat untuk tak mengulangi lagi, namun bukan karena hati kecil mereka menolak al-Qur’an, tetapi lebih karena vested interest (kepentingan diri) demi mempertahankan posisi sosial dan politik mereka. Mereka disebut kafir karena mereka sesungguhnya telah mengakui kebenaran Islam, namun menolaknya karena alasan-alasan ekonomi, sosial, dan politik.
Sebagaimana ditunjukkan oleh Husain Haikal dalam Hayat Muhammad, penolakan dan penyangkalan Abu Sufyan atas ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad sesungguhnya leboh didorong oleh motif mempertahankan pengaruh dan kelas sosial. Abu Sufyan tetap bertahan dengan agama Arab Jahiliah bukan karena percaya dan mengimaninya sebagai sebuah kebenaran, namun lebih karena sistem purba itu menguntungkannya secara politik dan sosial. Betapa tidak, sementara al-Qur’an datang dengan mendeklarasikan kesetaraan antara orang biasa dan kaum jutawan? Menyamakan budak dengan majikan? Bahwa hanya ketakwaan-lah yang membedakan mereka! Doktrin-doktrin Islam terkait reformasi sosial inilah yang memberatkan orang semacam Abu Sufyan untuk memeluk Islam, bukan soal pengakuan dan penyembahan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, sejak masa pra-Islam, Kota Mekkah sudah menjadi pusat bisnis yang menghasilkan uang, terutama karena kafilah dagang menuju Yaman, Syam, Mesir, Herat, dan Persia sudah pasti melalui Mekkah untuk menyembah berhala di Kakbah dan sekitarnya. Karena lalu-lintas yang ramai itu, maka sentra-sentra bisnis seperti Ukazh, Mijannah, dan Dzil Majaz menjadi pusat perdagangan (sesungguhnya juga menjadi arena kompetisi para satrawan). Tentu saja pengakuan dan penerimaan terhadap dakwah Islam, yang antipaganisme, akan berdampak pada hilangnya nilai Kota Mekkah sebagai tempat persinggahan kafilah dagang. Dan itu berarti –menurut khayalan mereka- matinya ekonomi dan hilangnya sumber-sumber kekayaan bagi para pembesar Arab itu! Artinya, faktor ekonomi dan politik –dan bukan keyakinan teologis- yang menjadi alasan dibalik penyangkalan terhadap Islam.
Maka, kesimpulan-sementaranya: jika
seseorang tidak menerima Islam karena ketidaktahuan, atau karena
argumen-argumen tentang Islam yang sampai kepadanya tidak meyakinkannya,
orang-orang seperti ini tak serta-merta dapat disebut kafir. Karena itu, baik para ulama salaf dan khalaf (belakangan), berpendapat adanya keharusan pemilik pengetahuan, yakni pengetahuan yang benar dan meyakinkan –disebut qiyamul hujjah (tegaknya
argumentasi yang meyakinkan tentang kebenaran Islam)- sebelum seseorang
dikategorikan sebagai kafir ketika mengingkarinya.
Imam Ja’far Shadiq berkata:
“Sekelompok orang tidaklah kafir bila mereka tidak tahu (jahil), diam, dan tidak menentang.”
Imam Ghazali juga
mengutarakan pandangan serupa. Menurutnya, orang-orang non-muslim yang
tidak sampai kepadanya dakwah tidak dapat disebut sebagai kafir.
Kategori ini dipahami sebagai orang-orang yang tidak pernah mendengar
Islam, atau Islam tidak sampai kepada mereka dalam bentuk yang membuat mereka yakin.
Dalam pandangan beliau, orang-orang yang sampai dakwah kepada mereka,
namun kabar-kabar yang mereka terima adalah kabar-kabar yang tidak benar
–membuat citra Islam menjadi buruk- atau yang mengalami pemalsuan
sedemikian rupa, maka orang-orang seperti ini masih diharapkan bisa
masuk surga. Dengan kata lain, mereka tidak kafir, mengingat jika mereka
dihukumi kafir, amal-amal mereka oleh al-Qur’an disebut sebagai
sia-sia.
Dalam konteks inilah kita bisa pahami pernyataan tegas al-Ghazali dalam Faishal al-Tafriqah, yang memandang betapa mayoritas umat Kristen Roma dan Turki di masa itu adalah umat yang akan terselimuti oleh rahmat Allah. Mereka tidak bisa dipandang sebagai kafir dan mendustakan Islam, terutama karena informasi tentang Islam sampai kepada mereka dalam bentuk yang tak meyakinkan, selain karena posisi mereka yang jauh dari pusat peradaban Islam.
Demikian pula pandangan Rasyid Ridha. Pandangan-pandangannya soal ini bisa ditemui di berbagai tempat dalam Tafsir al-Manar dan Jurnal al-Manar. Sebagian saya sebutkan di bawah ini.
Pasti terkait dengan QS. 4: 115, dia secara khusus menekankan bahwa orang (kafir) yang amalnya sia-sia hanyalah “mereka yang telah sapai dakwah Nabi Muhammad saw. secara meyakinkan, tapi tetap keras kepala tak mau menerimanya.” Diapun dengan jelas menyatakan bahwa banyak non-muslim di zamannya sesungguhnya tak pernah benar-benar mengetahui mengenai Islam dengan pengetahuan yang benar dan dapat meyakinkan mereka.
Bahkan, Ibn Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa–nya berpendapat, seseorang tidak dapat dikafirkan sampai tegak kepadanya hujjah (argumentasi yang meyakinkan). Termasuk juga ‘alim kontemporer seperti Syeikh Mahmud Syaltut (dalam al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah). Gagasan tentang qiyam al-hujjah juga tidak absen dalam pemikiran Imam Syafi’i.
Berdasarkan
argumentasi di atas, maka non-muslim yang tulus dalam memilih dan
meyakini keyakinannya tidak serta merta dapat disebut kafir, yakni
menutupi keyakinannya akan kebenaran. Murtadha Muthahhari dalam Keadilan Ilahi, menyebut orang-orang non-Muslim seperti ini sebagai orang-orang Muslim Fitri (muslimun bi al-fitrah), yakni orang-orang yang secara nominal bukan muslim, tetapi pada hakekatnya berserah diri (aslama) kepada kebenaran (Tuhan).
Tentang Kristen dan Trinitas
Boleh jadi ada
yang masih merasakan kemusykilan. Jika non-muslim memang tidak identik
dengan kafir, dan kekafiran adalah kategori moral, lalu bagaimana
memahami firman Allah:
“Sesungguhnya
kafir-lah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah adalah salah
seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain
Tuhan yang Esa.” (QS al-Ma’idah [5]: 73)?
Salah satu kemungkinan tafsir ayat ini adalah, yang dimaksud al-Qur’an itu bukan Trinitas sebagai yang diyakini kaum Nasrani, tapi Triteisme Monophysite tertentu –yakni penganut keyakinan bahwa Tuhan benar-benar tiga dengan meyakini bahwa Jesus adalah benar-benar Tuhan (yang qadim dan azali). Yang pertama, yakni Trinitas, tetap merupakan tauhid, yakni tiga dalam satu (unitas). (Yakni, yang dua adalah semacam tajalli-Nya, jika mengikut pandangan ‘irfan). Dalam konteks ini, menarik untuk dicatat bahwa Hujjatul Islam Imam al-Ghazali memiliki pandangan unik saat menguraikan bahwa kalimat laa ilaaha illallaah itu sesungguhnya dipersepi dan dihayati secara bertingkat, tidak monolit. Bahkan menurutnya, ketika umat Kristen menyebut Allah sebagai tsalitsu tsalatsah (salah satu dari yang tiga), pernyataan ini tidaklah dipahami bahwa Allah itu tiga. Sebaliknya, Allah itu Esa, namun tiga ditinjau dari sifatnya. Dalam kata-kata mereka sendiri, kutip al-Ghazali, “Allah itu Esa secara jauhar dan tiga secara oknum”. “Oknum” disini sebagai sifat. Dengan kata lain, betapapun al-Ghazali menolak doktrin ini beliau tetap adil untuk mengakuinya sebagai mengandung satu jenis monotheisme tertentu.
Al-Syahrastani, dalam Al-Milal wa al-Nihal, menyatakan yang kurang lebih sama. Yakni bahwa yang disebut aqanim (jamak dari oknum) adalah bukan dalam hal substansi (jauhar). Kesimpulannya, bahwa yang ditunjuk al-Qur’an bukanlah para penganut Trinitas, melainkan kaum Kristen Ya’qubiyah dan Mulka’iyah/Mulkaniyah yang memang percaya pada gagasan adanya tiga Tuhan tersebut.
Kekafiran sebagai Kategori Moral
Jika kita
teliti teks-teks al-Qur’an dan Hadis, kita mendapatkan kesan kuat bahwa
kekafiran adalah juga suatu kategori yang akarnya bersifat moral, bukan
teologis. Selain berlaku atas orang-orang yang menyangkal kebenaran yang
telah diyakininya akibat hawa nafsu dan vested interest (kepentingan diri), kekafiran adalah soal akhlak buruk dan ketiadaan concern pada orang-orang susah, yakni pengabaian terhadap amal shaleh. Inilah satu bentuk kekafiran yang dipahami sebagai taqabbul al-‘adam wa malakah (oposisi
antara negasi dan habitus), yakni terkumpulnya (sifat-sifat buruk)
dalam diri seseorang, sehingga bisa disebut tidak beriman.
Nabi Muhammad saw. pernah dengan tegas menyatakan:
“Agama itu akhlak yang baik”
Dalam hadis lain, Nabi saw. secara langsung menyejajarkan kualitas akhlak dengan keimanan:
“Orang beriman yang paling sempurna amalnya adalah yang paling tinggi akhlaknya”
Imam ‘Ali pernah mengatakan:
“Ada orang beragama tapi tidak berakhlak, dan ada yang berakhlak tapi tidak bertuhan”
Sabda Nabi
Muhammad saw. dan pernyataan Imam Ali ini bisa dilihat sebagai sindiran,
bahwa orang beragama yang tak berakhlak mulia, alih-alih dapat disebut
orang baik atau shaleh, justru lebih tepat dikategorikan kafir. Bukanlah
dari keimanan –sebagai jantung keberagaman- harusnya lahir akhlak mulia
dan tindakan-tindakan kebaikan yang sejalan dengan prinsipi-prinsip
moral universal?Dapatkan seseorang dikategorikan beriman ketika akhlak
dan tindakan-tindakannya bahkan berseberangan dari prinsip-prinsip
kebaikan?
Nabi saw. juga bersabda:
“Tidak termasuk orang yang beriman siapa saja yang kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR. Bukhari)
Pada kesempatan lain, dalam sebuah hadis terkenal, Nabi saw. bersabda:
“Tidaklah
beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman
seorang peminum khamr ketika ia sedang meminum khamr. Tidaklah beriman
seorang pencuri ketika ia sedang mencuri.” (HR. Bukhari)
Dalam
sabda-sabda Nabi saw. di atas, keimanan secara tegas dipertautkan dengan
kesadaran dan kepedulian sosial. Keimanan bukan semata keyakinan yang
terpendam di dalam hati. Sikap acuh dan “masa bodoh” terhadap kesusahan
orang lain atau pelanggaran terhadap syariat secara tegas dinyatakan
sebagai keadaan “tidak beriman”, yakni kekafiran terselubung.
Demikian pula dalam ibadah mahdhah. Shalat,
alih-alih mengandung pujian Allah, justru sebaliknya Allah sebut
sebagai tindakan mendustakan agama jika tak diikuti dengan kesadaran dan
empati sosial yang riil.
“Tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah
bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan)
barang berguna.” (QS al-Ma’un[107]: 1-7).
Bukankah “mendustakan” agama adalah esensi kekafiran itu sendiri?
Masih berhubungan dengan pengidentikan keimanan dengan empati sosial, dalam hadis lain Nabi saw. bersabda:
“Tak beriman seseorang dari kalian hingga dia menginginkan bagi saudaranya apa yang dia inginkan bagi dirinya sendiri.”
Penutup
Apakah dengan demikian saya sedang menyatakan bahwa semua agama sama? Tentu tidak.
Kita sebagai
muslim yang mu’min percaya bahwa Islam adalah agama yang paling
sempurna. Yang menyempurnakan dan meluruskan penyimpangan-penyimpangan
yang ada pada agama-agama sebelumnya. Tapi, adalah beda soal kebenaran (truth claim) dan soal keselamatan (salvation claim). Agama lain bisa salah (secara truth claim), tapi tak lantas berarti bahwa pengikutnya (yang karena ketidaktahuan/ketidakyakinan tidak menerima) tak akan selamat (salvation claim).
Meski multi
tafsir, ayat 62 dalam surah al-Baqarah bisa ditafsirkan ke arah itu.
Yakni dalam konteks ke-non-musliman orang-orang yang atas mereka hujjah belum
tegak. Bahwa orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in (menurut sebagian
ulama, kategori Shabi’ini bisa mencakup agama Hindu, Buddha, Majusi,
dll) yang percaya pada Allah, hari akhir, dan akhirat –selain muslim
(yang disebut alladziina aamanuu)- akan selamat. Wallahu a’lam bishshawab.
*Artikel ini sebelumnya telah dimuat di panrita.id dan islami.co