Irza A. Syaddad
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Terbangun dari Qailulah
Satu dari sekian sebab saya tak begitu suka Jumatan adalah khutbah yang membosankan; materinya yang itu-itu saja, suara khatib yang terlalu pelan, dan durasinya yang melelahkan. Akan tetapi karena menghadiri ritual itu adalah kewajiban bagi kaum Muslim laki-laki, mau tak mau saya harus menahan diri untuk tidak hengkang dari majelis. Setidaknya ada dua alasan saya bertahan di sana: pengurus masjid menyediakan nasi kotak, dan saya bisa sejenak qailu-lah.
Sebagai seorang santri yang pernah sebentar mengenyam dampar pesantren, saya tahu bagaimana harus memosisikan badan dan kaki ketika tidur agar wudu tidak batal. Oleh karena itu, dalam setiap Jumatan, qailulah –tidur atau istirahat sejenak di tengah hari– sudah menjadi kebiasaan saya. Lazimnya, qailulah saya tidak akan terganggu oleh suara apapun. Dan seakan-akan iaditunggui oleh malaikat–dan otomatis diridai oleh-Nya–, saya terjaga darinyapersis ketika muazin akan mengumandangkan ikamah.
Akan tetapi dalam beberapa Jumatan terakhir ini, saya sering terbangun lebih awal, yaitu ketika khatib sedang mengakhiri ceramahnya. Dan sebagaimana kondisi terbangun dari tidur yang disebabkan oleh kaget, indera pendengaran saya sontak berfokus pada suara lantang yang bergema di masjid saat itu, yaitu kalimat penutup khatib: “Jika ada kebenaran, maka itu pasti dari Allah. Dan jika ada kesalahan, maka itu semata-mata dari diri pribadi khatib” (dan tak jarang ‘iblis’, atau ‘setan’ ikut disebut sebagai biang kesalahan prosesi khutbah).
Redaksi kalimat tersebut mengganggu saya, dan celakanya ia sering muncul dalam pemungkas khutbah-khutbah Jumatan yang lain. Di satu waktu, saya berprasangka baik kepada khatib yang mau bertanggung jawab atas tindakan salah yang dilakukannya. Dugaan saya, khatib berkata demikian karena menerapkan firman Allah dalam Q.S. An-Nisa: 79, “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, adalah dari [kesalahan] dirimu sendiri”.
Akan tetapi di lain waktu, saya tidak bisa tidak curiga pada khatib. Bisa saja ia ternyata meyakini takdir Allah yang bersifat terikat pada seluruh perbuatan manusia,[1] yang dengan demikian posisi manusia menjadi determinan di hadapan-Nya. Namun, keyakinan tersebut terpaksa dipangkas karena berseberangan dengan konsep “Allah adalah Dzat Yang Maha Baik (Al-Barr)”. Bagi khatib, karena Allah Maha Baik, maka tidak mungkin Dia menjerumuskan makhluk-Nya ke jurang kesalahan. Lebih lanjut, yang paling mungkin melakukan kesalahan adalah makhluk-makhluk lemah yang dibekali syahwat,[2] seperti manusia, setan, dan iblis.
Perdayaan Iblis dan Skenario Tuhan
Dosa atau kesalahan pertama kali dalam sejarah penciptaan semesta adalah tatkala Iblis menolak sujud kepada Adam. Itu adalah dosa kesombongan, salah satu dari tujuh dosa mematikan. Iblis mencatatkan namanya sebagai makhluk yang memelopori pembangkangan kepada Tuhan. Oleh sebab itu, Allah lantas melabelinya dengan sebutan “terlaknat” (rajim). Akan tetapi Iblis tidak tinggal diam. Ia lantas melakukan lobi-lobi, hingga kemudian ia mendapat keringanan dari Tuhan berupa umur yang amat panjang, yaitu sampai hari ketika manusia dibangkitkan. Tidak hanya itu, Allah bahkan memberikannya izin untuk menggoda manusia; menyortir hamba-Nya, memilahnya antara yang taat dan yang mungkar. Perizinan ini bukan tanpa alasan. Dan alasan ini menjadi bukti kunci terjadinya drama kosmis yang berujung pada pengejawantahan firman Allah berupa menjadikan (manusia sebagai) khalifah di bumi.
Jika merujuk pada Alquran, ayat yang berisi “keinginan” Allah untuk mengutus wakil-Nya di bumi, lebih dulu disebut daripada ayat tentang perintah sujud kepada Adam. Kita ambil contoh Q.S. Al-Baqarah: 30-36, yang ditampilkan dalam bentuk lini masa:
Allah berkehendak untuk mengutus khalifah di bumi à Allah mengajari Adam al-asma`, lalu memamerkannya kepada malaikat à malaikat mengakui kelemahannya à Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam, tapi Iblis membelot à Adam dan istrinya tinggal di surga, dengan larangan mendekati syajarah à setan memperdaya mereka, sehingga Adam dan istrinya diusir dari surga.
Dalam urutan yang sama, Q.S. Al-A’raf: 11-24 menambahkan cerita bagaimana meminta keringanan Allah agar diperbolehkan hidup lama, dan diberi lisensi untuk menggoda manusia dari segala arah. Kisah selanjutnya sudah bisa ditebak: Iblis diizinkan menjerumuskan manusia; Adam adalah manusia, maka Iblis akan memprovokasi Adam untuk melanggar perintah-Nya; akhirnya Adam dan istrinya, tidak hanya mendekati syajarah larangan, tetapi juga memakan buahnya. Atas kemaksiatan itu, Allah lantas mengusir Adam dan istrinya dari surga, dan menempatkannya di bumi.
Andaikan dimungkinkan mempersempit “dunia paralel”[3] yang mungkin diciptakan oleh Allah, pembangkangan yang dilakukan Iblis secara tidak langsung berdampak pada suksesi di bumi yang dicanangkan oleh Allah. Dengan demikian, maksiat[4] yang dilakukan oleh Adam dan istrinya sudah “diperkirakan” oleh Allah, yang kemudian menjadi dalih bagi-Nya untuk memindahkan mereka ke bumi, yang notabene menjadi tempat tinggal bagi khalifah-Nya.
Dalam Ruh al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an,[5]diceritakan bahwa ketika tangis Adam semakin menjadi-jadi, Allah mengajarinya doa-doa dan ucapan pertaubatan. Pengajaran itu, kata Ibn Abbas, berlangsung secara talaqqi, yaitu pengajaran langsung dari Allah kepada Adam, bukan melalui malaikat. Melalui dosa tersebut, Adam lantas diajarkan rasa menyesal atas pelanggarannya, doa-doa pertaubatan, dan lebih dalam lagi, Allah mengenalkan Adam sifat-Nya Yang Maha Pengampun (al-Gafur, al-Gaffar), dan Maha Menerima Taubat (at-Tawwab).
Dari kisah Adam ini didapat kesimpulan bahwa kebaikan maupun keburukan yang terjadi pada seorang hamba, tidak selalu selaras dengan pemuliaan ataupun penghinaan dari Allah. Bisa saja kenikmatan atau rezeki yang kita peroleh bukanlah anugerah, melainkan istidraj; dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, tepat apabila jauh-jauh sebelumnya Allah memperingatkan manusia agar tidak terbuai pada kebaikan maupun keburukan yang diterimanya[6].
Meskipun begitu, penutup khutbah di atas masih mengganggu saya. Bagaimana jika ternyata khatib sudah mengetahui hikmah di balik kesalahan, dan konsep istidraj, namun ia masih tetap mengatakan kesalahan khutbah adalah tanggung jawabnya? Saya kemudian teringat pada syair indah yang digubah oleh Sayyid Bakri[7]:
فشريعة كسفينة وطريقة # كالبحر ثم حقيقة در غلا
“Syariat bagaikan perahu atau kapal, tarekat seperti laut
sedang hakikat laksana mutiara berharga”.
“Syariat itu”, kata Sayyid Bakri, “bagaikan perahu yang menjadi perantara kita untuk sampai kepada Yang Haq, sedang tarekat seperti samudra yang menjadi tempat Yang Haq, lalu hakikat laksana permata mutu manikam yang terdapat di dalam samudra. Seseorang tidak akan mencapai tingkat hakikat (mendapatkan permata) sebelum ia sampai ke samudra yang menjadi persemayamannya. Dan begitu pula ia tidak akan bisa mengarungi samudra tanpa bahtera”.
Dari syair di atas, posisi hamba di hadapan syariat menjadi jelas. Ia hanyalah seseorang yang mengendarai kapal (syariat) untuk menuju Tuhannya (hakikat) di kedalaman laut (tarekat). Logikanya, jika seseorang ingin menyelam, maka kapalnya ditinggal dan dibiarkan terapung-apung di permukaan laut. Jika sang hamba memaksa untuk membawa kapalnya menyelam, maka yang terjadi adalah ia akan karam dan tenggelam. Meskipun demikian, hambayang telah sampai pada Tuhannya tidak lantas meninggalkan syariat terapung begitu saja. Selama ia masih menjadi manusia, selama itu pula ia harus kembali ke kehidupannya yang bersyariat. Yang membedakan antara dirinya dengan masyarakat awam adalah cara pandang dia terhadap perubahan dunia.
Kaitannya dengan khatib adalah–terlepas apakah ia masih berada di tataran syariat atau makrifat–, ia masih tetap mengatakan bahwa kesalahan khutbah berasal dari dirinya. Sebab, sebagai manusia yang hidup dengan sesamanya, ia tidak ingin melepaskan tanggung jawab atas perbuatannya. Jika ia mengatakan bahwa semua hal, kebaikan dan keburukan yang diterima dan dilakukan olehnya, adalah dari Allah, maka kondisi masyarakat akan kacau. Akan ada kejahatan yang terjadi dengan dalih takdir Allah. Dengan begitu, apa yang dikatakan oleh khatib sebenarnya bukanlah sebuah kesombongan, melainkan kehati-hatian.
Pada akhirnya, saya tak perlu lagi meributkan penutup khatib tadi. Ini tentu menjadi kabar baik bagi qailulah saya.
[1] Merujuk pada firman Allah dalam Q.S. As-Saffat: 96.
[2] Dalam kitab manakib Syaikh Abdul Qadir al-Jilani yang berjudul Lujain ad-Dani, dikatakan bahwa hamba yang lemah adalah yang masih memberdayakan syahwatnya, meskipun untuk beribadah; dan sebaliknya, seseorang dikatakan sebagai hamba yang kuat adalah jika ia sama sekali tak bersyahwat. إنما جعلت الشهوات لضعفاء عبادي ليستعينوا بها على الطاعات وأما الأقوياء فما لهم الشهوات. Baca Ja’far bin Hasan al-Barzanji, Lujain ad-Dani fi Manaqib al-Qut}b ar-Rabbani asy-Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani, (Kudus, t.t.: Al-Ma’had as-Salafi Dar al-Falah), 20.
[3] Maksud dunia paralel di sini adalah kemungkinan-kemungkinan peristiwa yang masih terakomodasi oleh ketentuan Allah yang tertulis dalam kitab. Baca Q.S. Al-Hadid: 22.
[4] Pemilihan diksi maksiat ini merujuk pada Q.S. Taha: 121.
[5] Isma’il Haqqi al-Birusawi, Ruh al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an, juz 5, (Beirut, t.t.: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), 444-445.
[6] Q.S. Al-Fajr: 15-16.
[7] Bakri al-Makkiy, Kifayah al-Atqiya` wa Minhaj al-Asfiya`, (Kairo, 1886: Mat}ba’ah al-Khairiyah), 11-12.