Dalam
fenomenologi agama, sebagaimana terungkap oleh Rudolph Otto, disebutkan ada dua
situasi pertemuan manusia dengan Tuhannya. Dalam situasi pertama, Tuhan tampil
dihadapan manusia sebagai suatu “misteri yang menggetarkan” (mysterium
tremendum). Pada situasi lainnya, Ia hadir sebagai “misteri yang
memesonakan” (mysterium fascinans). Biasanya, para ahli –seperti Van der
Leuw- melihat Islam (dan juga agama Yahudi) sebagai mewakili situasi yang
pertama. Secara hampir refleks, para ahli seperti ini pun me-reserve
situasi yang kedua –yang didominasi cinta- untuk Kekristenan. Namun, para ahli
mengenai aspek esoterisme Islam (spiritualitas Islam atau tasawuf) yang lebih
belakangan, seperti diwakili dengan baik oleh Annemarie Schimmel, melihat Islam
sebagai tak kurang-kurang mempromosikan orientasi cinta dalam hubungan antara
manusia dan Tuhannya. Bahkan, seperti akan diuraikan di bawah ini, dalam hal
ini Islam justru lebih memujikan orientasi cinta daripada orientasi yang
didominasi rasa takut.
Untuk memulai
pembahasan mengenai soal ini, perlu disampaikan bahwa khazanah pemikiran Islam
klasik sesungguhnya juga telah mengenal kedua situasi pertemuan manusia dan
Tuhannya ini. Yakni, aspek kedahsyatan yang menggetarkan (disebut jalal)
dan aspek kehidupan yang memesonakan (jamal). Namun, adalah benar juga
bahwa selama berabad-abad –khususnya selama berabad-abad modernistik belakangan
ini- kaum Muslim seperti lupa pada sisi esoteris agama mereka yang melihat
hubungan manusia-Tuhan sebagai kecintaan makhluk kepada keindahan-memesonakan
Sang Khalik. Jadilah Islam, seperti diungkapkan oleh para ahli fenomenologi
agama itu, sebagai suatu agama yang secara eksoteris melulu berorientasi nomos
(syari’ah dalam arti sempit, hukum) dan kering dari orientasi eros
(cinta, hubb).
“Kuntu kanzan
makhfiyyan, fa ahbabtu an u’raf. Fa khalaqtu al-khalaqa li kai u’raf” (Aku
adalah perbendaharaan yang terpendam. Aku ingin sekali (ahbabtu) untuk
dikenal. Maka, Aku ciptakanlah alam semesta). Demikianlah Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman dalam suatu hadis qudsi. Basis dari penciptaan sejak awal-mulanya,
menurut hadis yang merupakan kutipan standar dalam hampir setiap uraian tasawuf
ini, adalah kerinduan atau kecintaan Tuhan akan (ma’rifah) manusia.
Lepas dari “opini” para sufi ini, Al-Quran menegaskan hubungan cinta antara
Allah Sang Pencipta (Alwadud) dan manusia (lihat, antara lain, Al-Quran
Surah Al-Ma’idah [5]: 54, Al-Baqarah [2]: 165). Inilah salah satunya: “Adapun
orang-orang yang beriman itu, sangat dalam kecintaan mereka kepada Allah.”
Menurut salah
satu peneliti, bukan saja lebih banyak porsi dalam 99 Nama Allah (Al-Asma’
Al-Husna) bagi nama-nama yang termasuk dalam aspek jamal Allah SWT.,
seperti Maha Pengasih (Al-Rahman), Maha Penyayang (Al-Rahim),
Maha Pencinta (Al-Wadud), Maha Pemaaf (Al-Ghafur), Maha Penyabar
(Al-Shabur), Maha Lembut (Al-Lathif), dan seterusnya. Bahkan di
dalam Al-Quran terdapat lima kali lebih banyak ayat yang mengandung nama jamaliyah
ini daripada jalaliyah. Dengan kata lain, Allah menampilkan dirinya
sendiri –dan tak ada yang dapat menampilkan Allah kecuali diri-Nya sendiri-
lebih sebagai Zat yang indah dan memesona serta menimbulkan cinta kasih,
daripada sebagai suatu misteri dahsyat yang menggetarkan. Itu sebabnya dalam
sebuah hadis disabdakan: “Allah adalah cinta”.
Kenyataan ini
tentu sama sekali tak berarti bahwa kita harus mengabaikan penampilan Allah SWT.,
dalam segenap kedahsyatan-Nya. Tetapi, bahwa segenap kedahsyatan Allah itu
–kemurkaan, pemaksaan, janji pembalasan-Nya terhadap kejahatan makhluk, dan
sebagainya- merupakan bagian dari kecintaan-Nya kepada makhluk. Dalam sebuah
hadis qudsi, disebutkan bahwa Allah SWT., berfirman: “Sesungguhnya kasih
sayang-Ku mendahului kemurkaan-Ku”. Di dalam Al-Quran, Dia sendiri
menyatakan sebagai “telah menetapkan atas Diri-Nya sifat pengasih (Rahmat)”,
serta mengajarkan bahwa Rahmat-Nya “seluas langit dan bumi” dan “meliputi
segala sesuatu”. Sejalan dengan itu, Nabi-Nya pernah mengabarkan kepada
kita bahwa: “Allah memiliki seratus rahmat. (Hanya) satu yang ditebarkan-Nya
ke atas alam semesta, dan itu sudah cukup untuk menanamkan kecintaan di hati
para ibu kepada anak-anaknya.” Sehingga, tutup hadis itu, “seekor induk
kuda mengangkat kakinya agar tak menginjak anaknya, dan seekor ayam betina
mengembangkan sayapnya untuk anak-anaknya berlindung di bawahnya.”
Menurut Ibnu
‘Arabi, “Tidak ada perkataan ilahi dari Allah SWT yang mengindikasikan sifat jalaliyah-Nya
tanpa dibarengi dengan sifat jamaliyah-Nya. Hal demikian berlaku
dalam semua kitab suci, bahkan dalam segala sesuatu.”
Sayangnya, dalam
segenap kegentaran kita kepada kedahsyatan (jalal) Allah SWT., banyak di
antara kita sulit membayangkan bentuk hubungan cinta antara Yang Mahasegala dan
makhluk ringkih bernama manusia ini. Paling banter, orang akan menafsirkannya
sebagai sinonim dari keterikatan atau ketaatan seorang hamba (‘abd) yang
takut kepada Tuhan (Rabb)-nya.
Untuk
membuyarkan fiksasi kita tentang Allah yang menakutkan ini, izinkan saya
mengungkapkan simbolisasi Ibn ‘Arabi dalam karya besarnya, Fushush Al-Hikam.
Hubungan cinta antara Allah dan manusia, kata sang sufi besar yang
kontroversial ini, adalah seperti hubungan cinta antara manusia lelaki dan
perempuan. (“Inilah”, kata Ibn ‘Arabi, hikmah hadis termasyhur Nabi mengenai
kecintaan beliau kepada perempuan, di samping kepada shalat dan wewangian. Bisa
jadi pada awalnya sang sufi besar itu berpikir: pasti ada hikmah yang lebih
‘sakral’ di balik kesukaan sang Manusia Sempurna kepada objek-objek profan yang
tampak ‘remeh-temeh’ itu”). Artinya, kecintaan Allah kepada manusia –dan yang
sebaliknya- adalah seperti cinta-kasih dua sejoli anak manusia yang asyik-masyuk
(istilah bahasa Arab yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia ini
sebetulnya merupakan bentukan dari kata ‘isyq –berarti cinta- yang
merupakan salah satu istilah kunci dalam tasawuf). Banyak sekali ujaran-ujaran
para sufi besar lainnya mengenai hal ini.
Selain sufi-sufi
seperti Ibn ‘Arabi dan Ibn Al-Faridh, yang menonjol di antaranya adalah sufi
perempuan, Rabi’ah Al-‘Adawiyah. Ia dikenal dengan syair-syair menggetarkan
yang menunjukkan hubungan cinta kasih antara manusia dan Tuhan:
“Ya Allah,”
demikian munajatnya di suatu malam, “saat ini gelap telah menyelimuti bumi.
Lentera-lentera telah dimatikan, dan para manusia telah berdua-dua dengan
kekasihnya. Maka, inilah aku, mengharapkan-Mu.”
Diriwayatkan ia
pernah ditemui sebagai seseorang yang berjalan di jalanan Kota Baghdad sambil
membawa obor di salah satu tangannya yang lain. Ketika ditanya orang tentang
tujuannya, ia menjawab, “Aku akan menyalakan surga dengan obor ini, dan
memadamkan api neraka dengan seember air ini.” Memang Rabi’ah juga dikenal luas
dengan syairnya:
“Ya Allah
jika aku menyembah-Mu karena berharap surga-Mu, maka jauhkanlah surga itu
dariku. Jika aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mu, maka masukkan aku ke
dalamnya. Tetapi, janganlah halangi aku dari melihat Wajah-Mu.”
Munajat Rabi’ah
ini kiranya sejalan belaka dengan berbagai ujaran ‘Ali ibn Abi Thalib -sahabat
dan penerima wasiat Nabi, guru para sufi awal, dan pangkal hampir seluruh
silsilah tarikat– khususnya bagian-bagian tertentu dalam Doa Kumail yang
diajarkan Nabi kepadanya”
“… kalaupun aku
sabar menanggung beban-penderitaan (di neraka) bersama musuh-musuh-Mu dan Kau
kumpulkan aku dengan para penerima siksa-Mu, dan kau ceraikan aku dari para
kekasih dan sahabat-Mu … kalaupun aku, wahai Ilah-ku, Tuanku, Sahabatku dan
Rabbku, sabar menanggung siksa-Mu, bagaimana bisa akan bersabar dalam
menanggung perpisahan dengan-Mu … kalaupun aku bisa bersabar menanggung
panas-neraka-MU, bagaimana bisa aku bersabar dari melihat kemuliaan-Mu …”
Dalam konteks ini, menjadi terpahamkan ketika, suatu kali, ‘Ali “menyindir” ibadah ala budak yang ketakutan, atau ala pedagang yang selalu menghitung-hitung imbalan, seraya memuji hubungan yang berlandaskan cinta. [] Haidar Bagir
*Tulisan ini merupakan potongan pengantar
yang dibuat oleh Dr. Haidar Bagir untuk buku Agama Cinta, Agama Masa Depan.