Islam dan
Islamisme sampai saat ini terus menerus menjadi perhatian publik dunia,
sehingga memicu lahirnya terminologi saintifik tentang studi ‘islamologi’.
Yakni sebuah kajian Islam dengan kerangka ilmu sosial berbasis penelitian yang
mengaitkan realitas keislaman dengan konflik internasional di dunia politik,
seperti halnya Sovietologi era awal abad XX (Prakata, VII). Dengan demikian,
Bassam Tibi mencoba membeberkan alasan-alasan argumentatif-ilmiah dalam bingkai
sains sosial tentang “Islam” dan “Islamisme” yang tidak boleh gebyah-uyah.
Sebab menurutnya, ada kontradiksi dalam istilah (contraditio in terminis)
antara Islam dan Islamisme. Islam sebagai keyakinan dan Islamisme sebagai
politik keagamaan; yang menggunakan simbol agama untuk tujuan politik.
Dalam buku
setebal 302 halaman tersebut, Bassam Tibi mengajak pembaca merefleksikan krisis
Timur Tengah (meski tidak semua) yang gagal dalam membangun sebuah Negara atau
tatanan paska kolonialisme yang melanda negeri para bangsa Arab tersebut,
sehingga merancukan term “Islam” dan “Islamisme”. Istilah ‘Arab’ bermaksud
membatasi dan sekaligus menghubungkan pesimisme yang terkoneksi dengan
peristiwa perang enam hari bangsa Arab (Mesir, Yordania, dan Suriyah)
dengan Israel (1967). Kekalahan tersebut menciptakan krisis legitimasi di dunia
Arab, menandai awal runtuhnya sekulerisme dan bersamaan dengan munculnya
politik yang diagamaisasikan dari islamisme (halaman 56-57).
Paham Islamisme
kemudian diproduksi, dikembangkan, dipropagandakan dan disistemasikan pertama
kali dengan istilah “ghozwul fikr”. Istilah ghozwul fikr atau perang
pemikiran merupakan perwujudan konsep jihad yang dikobarkan oleh Sayyid Qutb
dan Hasan al-Bana dalam perseteruan kosmik Iman/Islam (muslim atau dia dan
kelompoknya) denga kufr (Yahudi dan semua yang tidak sejalan dengan Qutb dan
kawan-kawanya). Perang abadi antara mukmin dan kafir oleh Qutb, kata Bassam
Tibi, dalam kitab Hasan al-Bana Risalatul Jihad dan Sayyid Qutb Ma’rakatuna
Ma’al Yahud (pertarungan kita dengan kaum Yahudi). Sikap ini selain atas
nama agama (diagamakan), juga bagian dari adanya dugaan pengecohan umat muslim
dalam keadaan dunia-politik dengan pencitraan “Islam yang dikepung”.
Kerangka perang
(anti semitisme dalam studi Barat) ini diperkuat oleh gagasan tentang ghozwul
fikr (invasi intelektual) atas dunia Islam, diduga dihasut oleh orang-orang
Yahudi (dalam konsep terbaru Yahudi mendompleng Barat dan juga kaum Salibiyun)
halaman 80, 76, 85. Hemat penulis, terdapat enam agenda penting (utama atau
inti) dari gerakan-gerakan Islamisme yang disampaikan dalam buku tersebut.
Pertama, hakimiyyat
Allah (pemerintahan tuhan). Asumsi utama ideologi islamis (islamisme)
adalah bahwa hanya Allah, bukan manusia yang berhak memerintah dunia (halaman
137). Lawan dari ide ini adalah ide demokrasi yang dikembangkan (dipromosiskan)
oleh Barat, yang menekankan “kedaulatan rakyat”, sebagaimana dalam konstitusi
UUD 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, menurut Islamisme, apa yang
sekarang dikenal dengan azmat aldemokratiyyah (krisis demokrasi di dunia
Arab) dikarenakan para penduduknya tidak menggunakan hukum Allah.
Kedua, din wa
daulah (kesatuan antara agama dan Negara). Artinya, ketika para islamisme
berbicara tentang din wa daulah agama bersatu dengan tatanan Negara,
mereka menerapkan suatu ide al hall al-islam (solusi islam) bukan dalam
arti demokrasi melainkan memperbarui tatanan politik yang ada dalam
mengupayakan berdirinya negara syariah. Dan inilah ide utamanya, bukan
kekerasan, yang merupakan ciri khas dan condition sine quo non dari
Islamisme (halaman 43). Hal ini sebagai sebuah bentuk perlawanan dan perang
(konspirasi Yahudi dan Salibiyun) atau bentuk legitimasi kekerasan, tetapi juga
untuk mengubah format jihad klasik; dari perang regular yang dilakoni oleh
Negara Islam menjadi terror yang dilancarkan oleh para aktor islamis non-
Negara (halaman 27, 291).
Ketiga, nizom
Islami (sistem/tatanan baru Islam). Nizom Islam dimaksudkan untuk
menjadi langkah pertama dalam proses bertahap. Hal yang membuat Islamisme
menjadi isu global adalah bagian kedua dari visi ini: perluasan negara Islam
untuk menciptakan sebuah tatanan dunia. Revolusi dunia yang diproklamasikan
oleh islamis tidak hanya bertujuan untuk membuat tatanan politik dari Negara
territorial, tetapi juga diarahkan menuju pembaharuan dunia. Islamisme mengubah
universalisme Islam menjadi internasionalisme politik yang berusaha
menggantikan tatanan sekuler yang ada dari Negara-bangsa yang berdaulat dengan
satu Islam (halaman, 44).
Keempat,
ummah (komunitas). Inveted ummah (umat bentukan) atau meminjam
istilah dari Benedict Anderson sebagai “kommunitas yang dibayangkan” (imagined
community) bukanlah ummah seperti islam tradisional atau komunitas iman, tetapi
gerakan politik yang anggotanya mendukung pemberlakuan hukum syariah secara
ketat oleh negara (halaman, 44).
Kelima, siyyadatul
Islam (kepemimpinan Islam). Bagian ini ditegaskan oleh Qutb dalam bukunya al-salam
al-‘alami wa al-islam, kutib Bassam Tibi, “bahwa hanya dominasi islam yang
dapat menjamin perdamaian dunia; untuk mencapainya, ia menganjurkan agar
menafsirkan jihad sebagai “sebuah revolusi dunia komprehensif
(internasionalisme politik Islam) yang permanen dalam rangka membangun
pemerintahan Allah demi menyelamatkan seluruh umat manusia” (halaman 214).
Keenam, autentisistas
Islam (kemurnian Islam), ialah upaya purifikasi kontemporer yang
merepresentasikan suatu reaksi balik terhadap proses westernisasi, halaman 29.
Sebagimana kata Daniel Bell; the return of the sacred (kembalinya yang
suci). The return of the sacred adalah kebangkitan program tertentu
berdasarkan agama. Menurut Bassam Tibi, meski ada penampakan artifisial dari
kebangkitan kembali agama, “kembalinya yang suci” bukanlah sebentuk “renaisans
agama”, melainkan agama menerima suatu bentuk politis (halaman 2).
Enam hal yang
penulis ambil dari buku Bassam Tibi tersebut, merupakan manifesto politik
Islamisme yang berbeda dengan Islam atau bisa dikatakan conditio sine
quo non (syarat mutlak) identitas Islamisme. Bahkan, beliau berpendapat
bahwa mereka (Islamisme) itu paling tepat dipahami sebagai ideologi
totalitarianisme religius, tidak seperti totalitarianisme pendahulunya, yaitu
fasisme, komunisme yang sekuler. Di sana juga banyak istilah-istilah penting
yang menjadi bahasa-bahasa komunikasi Islamimisme, seperti tsaurah al
‘alamiyah (revolusi dunia), iIham (tipu daya), tadhhiyah
(kurban) al-hulul al-mustauradah (solusi-solusi impor) dan lain
sebagainya.
Pada
bagian-bagian tertentu, Bassam Tibi agaknya mengeneralisir anasir-anasir
islamisme di belahan Timur Tengah, seperti gerakan Hamas dan Fatah Palestine
terhadap kolonialisme Israel, coup de etat di Ikhwanul Muslimin/ Hizbut
Tahrir Mesir dan Libiya terhadap pemerintah tangan besi, ISIS di Suriyah dan
Iraq, AKP di Turkey, Wahabi Arab Saudi dan lain-lainya. Ambisi neo-kapitalisme
global kurang dilibatkan dalam analisis buku tersebut. Menimbulkan kesan bahwa
krisis Timur Tengan bersih dari campur tangan asing soal politik ekonomi,
sebagaimana yang terjadi di Iraq, Libya.
Meski begitu, hemat penulis, buku hasil penelitian tiga dekade tersebut sangat membantu membuka cara pandang bahkan memperkuat pemahaman kita -sebagai warga NKRI mengutip istilah Bassam Tibi buat Islam Indoensia (Nusantara) ialah Islam kewargaan (civil Islam) halaman135- tentang berbagai aksi teror, takfiri, khilafah, bid’ah dan key word yang selama ini kita kenal. Pada prakteknya, bentuk mereka ada yang institusionalisme (partai/parlemen) yang bermain dengan demokrasi. Dan ada pula yang jihadisme, dengan menggunakan jalur-jalur di luar intsitusional (non parlemen). Wallahu ‘alam. []
(Ali Mahrus)