Al-Qur’an menegaskan Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian. Hal itu bisa dilihat dari makna istilah “Islam” itu sendiri yang berakar kata: s-l-m, silm dan al-salam yang bermakna ketaatan dan kedamaian. Istilah “Islam” bagi agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu sendiri bukanlah buatan manusia sebagaimana nama-nama agama lainnya, melainkan diberikan oleh Tuhan sendiri, yakni al-Islam. Dengan berbagai derivasinya, istilah al-Islam meminjam salah satu nama Tuhan, yakni al-salam, dan nama salah satu surga-Nya, dar al-salam. Ungkapan Al-salam pun digunakan di dalam berbagai konteks, seperti dalam ibadah shalat yang biasa diucapkan di dalam tasyahud, “al-salamu alaikum warahmatullahi wabarkatuh”, dan digunakan dalam bermuamalah dengan orang lain dengan anjuran memulai dengan mengucapkan, al-salamu alaikum, dan jawaban, wa’alaikum salam; serta ketika hendak memasuki rumah, baik rumah sendiri maupun rumah orang lain. Karena itu, subyek dari al-Islam, yakni al-muslim (orang yang beragama Islam) menurut Nabi Muhammad adalah orang yang secara aktif menciptakan kedamaian, baik melalui lisannya (wacana) maupun tangannya (kekuatannya), al-muslim, man salima al-muslimun min lisanihi wa yadihi.
Karena itu, subyek dari al-Islam, yakni al-muslim (orang yang beragama Islam) menurut Nabi Muhammad adalah orang yang secara aktif menciptakan kedamaian, baik melalui lisannya (wacana) maupun tangannya (kekuatannya), al-muslim, man salima al-muslimun min lisanihi wa yadihi.
Akan tetapi, jika melihat realitas kehidupan manusia saat ini, konsep Islam kedamaian itu mulai dipertanyakan otentisitas dan fungsinya dalam menciptakan kedamaian. Bukan hanya oleh orang-orang Barat yang selama ini menjadi korban kekerasan sebagian kecil orang-orang Islam, tetapi juga oleh orang-orang Islam sendiri sebagai penganutnya (Muslim). Sebab, kini mulai bermunculan gerakan Islam radikal yang melegalkan kekerasan, baik kekerasan wacana seperti menuduh sesat pihak lain, maupun kekerasan fisik seperti pemukulan, pengrusakan dan pembunuhan terhadap pihak lain dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan. Seolah kekerasan menjadi bagian dari agama dan perintah Tuhan. Selain menjustifikasi tindakannya dengan menggunakan al-Qur’an dan hadis dengan jargon “amar makruf nahi mungkar”, mereka juga menggunakan ungkapan suci yang biasa diucapkan di dalam ibadah shalat, “Allahu Akbar” dalam melakukan kekerasan.
Pertanyaannya, mengapa mereka merasa absah melakukan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan Agama dan Tuhan? Apa sejatinya yang kita lakukan untuk mendeligitimasinya, sembari mengembalikan Islam pada khitthah-nya sebagai ajaran yang membawa dan menciptakan kedamaian? Untuk menjawab kedua masalah ini, akan dilacak genealogi nalar kekerasan yang mengatasnamakan agama dan Tuhan.
Melacak Genealogi Nalar Kekerasan
Pada periode awal Islam, Nabi Muhammad berhasil menciptakan kesatuan umat di bawah bendera Islam, dan mengubur fanatisme kesukuan yang selama ini menjadi pemicu keterpecahan umat. Akan tetapi, pasca wafatnya Nabi agung umat Islam ini, bibit-bibit perpecahan mulai muncul lagi ke permukaan, terutama pada fase akhir kekhilafahan al-rasyidun yang memuncak pada peristiwa sejarah yang dikenal dengan istilah tahkim. Tahkim itu sejatinya bertujuan untuk mengakhiri perpecahan, dan kembali pada persatuan dan kedamaian. Yang terjadi justru sebaliknya, ia menjadi titik nadir kehidupan umat Islam. Sejak itu, umat Islam pecah menjadi tiga kelompok utama, yakni kelompok yang mempolitisasi agama yang ditokohi Muawiyah; kelompok yang berusaha melepaskan agama dari tarikan ideologi politik yang dipimpin Ali bin Abi Thalib; dan kelompok kaku dan keras dalam memahami agama yang diwakili oleh Khawarij. Tiga gerakan Islam periode awal itu melahirkan beberapa retakan lahirnya gerakan Islam kontemporer, yakni Islam Khawariji-Wahhabi, Islam Islamisme dan Islam pluralis.
Titik beda ketiga gerakan Islam kontemporer itu terletak pada metode yang digunakan, yakni metode berfikir atau caranya dalam menalar Islam, konsepnya tentang al-hakimiyah dan jihad fi sabilillah. Islam Khawariji-Wahhabi yang ditokohi Abdul Wahhab menggunakan metode berfikir dialektika-dokotomis, memahami Islam secara teosentris, dan menteosentriskan politik dengan memberikan justifikasi teologis terhadap pemerintahan menjadi pemerintahan Tuhan (al-hakimiyah al-Ilahiyah). Namun, karena kala itu dunia dikuasai oleh manusia, kelompok ini mengharuskan adanya gerakan revolusioner melalui jihad fi sabilillah dengan tujuan untuk merebut kekuasan pemerintahan yang dikuasai manusia yang mereka sebut thaghut. Kelompok ini tidak disibukkan dengan upaya mendirikan pemerintahan Tuhan yang baru, karena mereka bekerjasama dengan pemerintah yang ada dibawah pimpinan Ibnu Saud. Mereka justru disibukkan dengan visi keagamaannya yang kaku dan purifikatif untuk membersihkan Islam dari pengaruh tradisi lokal yang disebut bid’ah, khurafat, tahayyul dan kufur.
Islam Islamisme, yang ditokohi al-Maududi dan Sayyid Qutub, menggunakan metode berfikir dialektika-dikotomis, memahami Islam secara teosentris, dan menteosentriskan politik dengan menawarkan konsep pemerintahan Tuhan (al-hakimiyah al-ilahiyah), dan mencanangkan gerakan revolusioner dalam bentuk jihad fi sabilillah. Selain ada kesamaanya dengan kelompok pertama, juga ada perbedaan titik tekan. Kelompok ini disibukkan dengan perjuangan mendirikan pemerintahan Tuhan, dan berusaha merebut kekuasaan politik dari manusia, terutama yang didirikan oleh orang-orang Barat dengan menggunakan bahasa jihad fi sabilillah.
Kedua nalar gerakan Islam itu bersifat dinamis dan toleran ketika masih berposisi sebagai metode pemikiran. Ia mulai keras, kaku dan intoleran ketika berubah menjadi ideologi yang disemaikan melalui organisasi dan lembaga gerakan. Nalar yang keras, kaku dan intoleran menciptakan pemahaman keislaman yang keras, kaku dan intoleran. Kekerasan, kekakuan dan intoleransi dianggap bagian dari ajaran Islam, dan merasa absah secara teologi. Mereka merasa absah melakukan tindakan kekerasan seperti, pemukulan dan pembunuhan terhadap pihak lain di luar kelompoknya. Tentu saja tidak semua dari mereka menggunakan tindakan seperti itu. Setidaknya, nalar seperti itu memungkinkan mereka melakukannya. Saat itulah, diperlukan nalar lain yang mampu menetralisir nalar seperti itu, yakni Islam pluralis.
Islam pluralis, yang ditokohi Asymawi, Haj Hammad dan Syahrur, menggunakan metode berfikir demonstratif-pluralis, menawarkan Islam inklusif dan universal. Di antara mereka sendiri, mereka mempunyai kesamaan sekaligus perbedaan. Ketiganya menggunakan metode berfikir yang sama dan menawarkan Islam yang damai dan rahmah, tetapi menawarkan analisis konseptual yang berbeda terutama terkait dengan bentuk pemerintahan yang direstui Islam. Asymawi masih mengapresiasi konsep pemerintahan (al-hakimiyah) dengan menampilkan keragaman dan dinamika pemerintahan dalam Islam; Haj Hammad menampilkan pemaknaan baru terhadap konsep al-hakimiyah, yakni sebagai bentuk keterlibatan langsung dan tidak langsung Tuhan dalam kehidupan manusia; dan Syahrur lebih fakus pada pemaknaan al-hakimiyah ke dalam wilayah pembuatan hukum Tuhan dan manusia, bukan dalam bentuk pendirian pemerintahan.
Ketiga gerakan Islam ini masuk ke Indonesia dengan membawa pengaruh yang berbeda. Dua kelompok pertama yang disebut dengan Islam transnasional bisa membawa pengaruh negatif jika tidak dijalankan dengan cara yang elegan, seperti lahirnya konflik kehidupan keberagamaan dan berbangsa. Sebab, ideologinya yang keras, kaku, dan intoleran bisa mengusik kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara yang sudah mapan sesuai dengan konsensus para pendiri Negara ini. Karena itu, sebagai bagian dari orang Indonesia yang beragama Islam, sejatinya kita membawakan konsep keIslaman antroposentris, visi pemerintahan etis-humanis yang sesuai dengan kondisi Indonesia, dengan menjadikan jihad wathaniyah sebagai strategi membela bangsa dan Negara Indonesia yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan bermottokan Bhinnika Tunggal Ika ini. (Aksin Wijaya)